Pages

Subscribe:

Labels

Selasa, 03 Januari 2012

Kerajinan Batu Tabas

Sektor Usaha yang bergerak dalam usaha Batu Tabas di karangasem, nmerupakan sektor yang melibatkan puluhan kelompok Tenaga Kerja Pertukangan batu yang mana tenaga kerja yang terlibat mendekati diatas seribu orang tenaga kerja. Sepanjang jalan dan masuk pelosok desa tidak jarang dijumpai Usaha yang mengerjakan Pekerjaan Sanggah/ Pelinggih dari batu tabas.
Sering Orang salah kaprah , bahwa batu tabas Karangasem harganya lebih mahal . Kenapa lebih mahal ? Padahal batu tabas asalnya dari karangasem, nah disinilah pesan Sponsornya, tanpa ada media yang bisa meluruskan kondisi yang sesungguhnya
Sebagian besar tukang batu tabas yang bekerja di jalur Bay Pass Ida bagus Mantra merupakan Tukang Karangasem. Kenapa mereka sampai bekerja di denpasar dan Gianyar? Padahal sumber bahan baku berasal dari daerah mereka sendiri. Jangan salah , ada Batu tabas Karangasem yang lebih mahal disebut batu Uma Anyar, batunya tidak merupakan batu lahar yang terbakar, kondisi batunya lebih hidup dan tidak rapuh.
Kalau yang lebih jeli akan melihat perbedaan pelinggih yang dibuat di Karangasem dengan yang dibuat di Luar Karanagsem. Batunya Tabasnya Lebih tebal , jelas faktor kekuatan akan menjadi lebih kuat. Rakitan Simbar padas hitam dan Hiasan Karang Gajah tidak merupakan batu Tempelan, bahannya merupakan batu lebih tebal .

Kerajinan Ate Karangasem

product ata adalah Product dengan Tampilan Exlusif, Tampilan Product yang alamiah, sifat bahan yang awet, dikerjakan dengan handmade, tidak menggunakan mesin, tidak merusak alam dan keberadaan kerajinan ini telah menghidupi ekonomi kebutuhan keluarga mereka.
SEPINTAS kerajinan ate mirip dengan rotan. Pohon/bahan ate bisa ditemukan di hutan-hutan atau di perbukitan termasuk di Bali. Namun, ate yang dihasilkan di Bali kecil-kecil. Karenanya, para pengrajin ate mendatangkan bahan dari pulau Jawa, Flores, dan Sumatra. Saat ini masyarakat Desa Seraya, Karangasem mengerjakan kerajinan ate yang diwarisi secara turun temurun ini, mengisi waktu luang atau selingan. Sebagian besar profesi mereka sebagai petani dan peternak.
Menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, tidak hany ratusan, hitungannya sudah ribuan tenaga kerja yang terserap disektor ini terebar dibeberapa Desa, seperti di Bungaya, Bebandem, Seraya, Bukit dan tersebar juga dibeberapa Desa.
  • Tempat yang Flexible, Kerajinan ini biasanya dikerjakan di rumah, digubuk, dib alai Pertemuan, di warung dimanapun mereka berada dan kapanpun bisa dikerjakan.
  • Pekerjaan kerajinan Ata ini biasanya dikerjakan oleh Masyarakat Kaum Perempuan, yang rata-rata dikerjakan oleh Keluarga Miskin
  • Pengambilan waktu yang flexible, bisa dikerjakan disela sela waktu mengurus rumah tangga, sambil memasak, menunggu rumah, tidak harus meninggalkan rumahnya.
  • Dalam proses pengerjaannya tidak membutuhkan Peralatan mesin, mereka mengerjakan dengan ketrampilan tangan / Handmade.
  • Jenis kegiatan ini cocok dikembangkan khususnya pada Masyarakat Pedesaan, mengangkat ekonomi local, dan bisa mengajegkkan Budaya setempat, khususnya Budaya Bali.
Sepintas, barang-barang dari Kerajinan Ata Karangasem ini mirip dengan kerajinan anyaman Ketak / Ata Lombok. Bedanya, anyaman ata Karangasem ini tanpa rangka, sedangkan Anyaman Lombok itu kebanyakan bukan dari kulit ata dan di dalamnya ada rangka dari rotan.. Jenis Product Kerajinan Ata , mulai tas , pajangan pot bunga, taplak meja, keranjang tempat pakaian (laundry basket), cinderamata untuk pernikahan, keranjang sampah, keranjang tempat pakaian kotor, alas piring dan gelas. Kerajinan Ata ini Berkembang terus menjadi bentuk lain seperti tas, kotak, bokor, gentong, tempat tissue dan sebagainya yang digemari wisatawan.


Kerajinan Paras Taro

Disebut paras Taro, ada yang menyebut Tanah Taro, Umumnya dibuat Sanggah/ Pelinggih , candi bentar . Namun sekarang sudah berkembang  dalam bentuk-bentuk pada elemen bangunan seperti untuk Pilar, Dinding Styl Bali, angkul-angkul dengan sentuhan  disain Simpel  Minimalis dan terkesan Alami.
Lain halnya Si Ketut , dengan Saudaranya yang berasal dari Daerah Seraya Karangasem, menggeluti pembuatan Sanggah/ Pelinggih tidak hanya untuk Bangunan Pelinggih saja , tetapi sudah dikembangkan menjadi elemen – Eemen Bangunan yang menunjang Arsitektur Bali, seperti pilar, dinding yang menyesuaikan dengan permintaan Konsumen, dan yang lebih penting menyesuaikan dengan kondisi tampat/ Lingkungan dimana  Elemen Bangunan tersebut akan dipasang.

Bahan paras tanah taro, didapatkan dengan menggali didalam tanah/ tebing, kalau dipegang khusus kerikilnya seperti kerikil batu lempung, ringan dan kalau sudah dicetak gampang dibentuk dengan peralatan pancak, serut atau pahat. Kemungkinan material paras tanah taro bersumber dari letusan gunung batur karena letak materialnya dekat dengan gunung batur, dan sifat phisik dari tanah pasir taro, seperti merupakan lumpahan letusan gunung berapi.

Kain Gringsing Desa Tenganan

Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan Karangasem-Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.

Kain ini sangatlah unik karena dengan sekilas memandang kita dapat langsung mengetahui kalau kain tersebut memang buatan tangan. Kain ini termasuk mahal, dan hanya diproduksi di desa tenganan saja. Waktu pengerjaannya pun memerlukan waktu yang cukup lama, karena karena warna – warna yang terdapat dikain gringsing ini berasal dari tumbuh-tumbuhan dan memerlukan perlakuan khusus. Walaupun banyak wisatawan yang semakin lama semakin banyak untuk datang didesa ini, namun sayang belanja suvenir mereka masih kurang.




 

Perang Pandan di Desa Tenganan

Sudah menjadi tradisi bagi Masyarakat Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, Kabupaten Karangasem, Bali menggelar kegiatan tradisi “perang pandan. Perang Pandan merupakan tradisi tahunan yang digelar dalam rangkaian upacara Ngusaba Desa, di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, sekitar 78 kilometer timur laut, Kota Denpasar. Acara ini akan digelar pada tanggal 30 Juli 2010 dan akan melibatkan puluhan pasang petarung dari dua kelompok yang saling berhadapan yang terdiri dari anak – anak, pemuda dan orangtua.

Perang Pandan ini akan berlangsung mulai pukul 13.00 siang, selama tiga jam, sebelum acara ritual ngusaba desa dimulai. Yang membuat unik dari perang ini adalah senjata yang dipakai, tidak berupa senjata tajam melainkan dengan daun pandan berduri yang di gunakan untuk melawan pada saat pertandingan. Perang Pandan diiringi oleh musik tradisional Bali sebagai penyemangat, karena semakin keras suara gamelan maka semakin semangat untuk menyerang lawan. Disamping itu juga perang ini diiringi lagu atau gending yang disebut dengan mekara –kara.

Dalam perang pandan ini setiap pertandingan dipimpin oleh seorang wasit yang bertugas untuk memimpin pertandingan tersebut. Setiap orang akan membawa satu ikat daun pandan berduri yang rata – rata terdiri dari 20 batang daun. Disamping itu setiap orang pun akan membawa tameng yang terbuat dari pohon ate yang dapat berfungsi untuk melindungi dari dari serangan musuh.

Bisa dibayangkan jika kulit tersebut kena pandan yang berduri, pasti akan keluar darah, tetapi meskipun demikian, mereka tetap saja berperang sebelum ada aba – aba berhenti. Mereka akan saling dorong dan saling berusaha untuk dapat menyentuh lawan dengan pandan berduri tersebut.

Setelah perang usai, yang tertinggal hanyalah korban yang bersimbah darah, tetapi sama sekali peristiwa ini tidak meninggalkan kesan permusuhan, malah masing – masing lawan saling membantu untuk memberi obat yang berupa daun sirih dan kunyit yang dibalurkan pada tubuh yang terluka.

    Share
    Printable version

Kontak kami
Untuk informasi lebih lanjut silahkan kontak kami
Name *     :    
Email *     :    
Comment     :    
Verification Code
    :     verifikasi kode
« Tanah Lot Art Festival 2010
Sanur Village Festival 2010 »
 Instant Konfirmasi - diskon rate
-----------------------------------------------------------------
 Hotel select     :    
 Area select     :    
 Check in     :    
            [Calendar] 
       
                       
                       
                       
                       
                       
                       
 Check out     :    
            [Calendar] 
       
                       
                       
                       
                       
                       
                       
 Total Hotel     :    

 Credit card     rapid ssl
phone
Asita logo and visit indonesia
Subscribe

Ketik email anda untuk berlangganan

Megibung

Megibung adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama  saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang didapat dari kegiatan ini namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersendagurau satu sama lain.
Megibung bersasal dari kata dasar gibung yang mendapat awalan me-. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan.
Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu kala yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi Masyarakat Karangasem itu sendiri didalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.
Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Proses penyembelihan babi pun dilakukan sebagai salah satu menu di dalam mempersiapkan hidangan yang disebut Gibungan ini. Daging babi diolah sedemikian rupa dan di kasi bumbu tertentu sehingga daging yang mentah menjadi menu pelengkap yang menggugah selera seperti sate, lawar, soup (komoh), Gegubah/lempyong, pepesan serta yang lainnya. Menu yang dihidangkan dalam Megibung tidaklah harus daging babi, namun dading ayam, kambing serta daging sapipun tidaklah masalah.
Megibung berlangsung apabila tamu undangan sudah lama bersanda gurau dengan kerabat serta sanak saudara serta setelah selesai membantu tugas-tugas yang dapat dilakukan guna kelangsungan acara tersebut, sebelum para undangan pulang terlebih dahulu di ajaklah untuk makan (megibung) sebagai tanda terimakasi atas kedatangan dan bantun dalam acara tersebut. Dalam Megibung biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang, yang dilakukan dengan duduk bersama membentuk lingkaran. Adapun ciri khas dari megibung ini adalah :

-          Duduk bersila membentuk lingkaran yang terdiri dari 5-7 orang.
-          Nasi yang disuguhkan ditaruh dalam satu wadah (nare besar).
-    Lauk atau pelengkap nasi berupa sate, lawar, soup, Gegubah/lempyong, pepesan yang ditempatkan dalam satu wadah (nare kecil).
-          Kegiatan makan dilakukan secara bersamaan dan makan menggunakan tangan.
-          Pada saat makan tidak boleh ada yang terjatuh di wadah/tempat nasi namun harus di luar nare tempat nasi tersebut.
-          Apabila ada salah seorang peserta megibung ada yang terlebih dahulu kenyang, orang tersebut tidak boleh terlebih dahulu bangun atau meninggalkan tempat megibung namun meski menunggu yang lain supaya selesai makan dan bangun secara bersama-sama.

Kegiatan Megibung maknanya sangatlah besar bagi kita semua terutama dalam hal kebersamaan serta saling berbagi satu sama lain tanpa melihat kasta dan materi yang dimiliki seseorang. Namun seiring perkembangan jaman, Megibung bagi kalangan orang-orang mampu kini sudah bukanlah merupakan keharusan lagi, karena dengan adanya catering mereka dengan mudah dapat memesan makanan apapun yang mereka kehendaki (perasmanan). Memang hal seperti ini sangatlah praktis, namun hal seperti ini sangat disayangkan karena mampu mengakibatkan hilangnya tradisi yang sudah diwarisi dari nenek moyang yang semestinya harus terus dijaga bahkan diwariskan kepada generasi penerus kita agar para generasi penerus kita semakin memahami arti penting dari kebersamaan dan memiliki rasa untuk saling berbagi satu sama lain. Bahkan pada tahun 2006 di Karangasem pernah diadakan acara Megibung Masal yang diselenggarakan oleh pemerintah guna memecahkan Rekor Muri yang di selenggarakan di Taman Sukasada Ujung Karangasem.

Pura Silayukti

 Pura Silayukti terletak di ujung selatan Gunung Luhur Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Di sebalah selatan membentang laut yang memisahkan antara pulau Bali dengan Nusa Penida. Di sebelah utara berdiri Gunung Luhur. Di sebelah barat teluk Padangbai (Pelabuhan Padangbai). Di sebelah timur Teluk Labuhan Amuk. Pura itu didirikan di atas tanah datar dan menjorok ke laut, menghadap ke selata

Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi. 

Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.

Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru.
Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual.
 

Senin, 02 Januari 2012

Pura Bukit Gumang

KEBERADAAN Pura Gumang di Bukit Juru, Desa Bugbug, Karangasem, ada hubungannya dengan adanya mata air yang mengaliri sawah ladang di sekitar Desa Bugbug. Keterangan tertulis yang bernilai sejarah tentang Pura Gumang di Bukit Juru ini memang sampai saat ini masih belum diketemukan. Keterangan tentang pura tersebut hanya didapat dari keterangan orang tua-tua seperti pemangku yang menjadi jan banggul di Pura Gumang dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang menaruh perhatian tentang agama dan adat Hindu.

Cerita itu didapatkan Secara turun-temurun. Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi), dulu ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali, akhirnya ia menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.

Di tempat itu, I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat petani setempat. Di daerah Bukit Juru, pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede.

Di samping itu, dalam melakukan oleh tapa, ia senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa barata itu, akhirnya suatu saat muncuJiah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini.

Atas keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini, I Dewa Gede lantas dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil tentunya karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Oleh karena adanya waranugraha itulah akhiniya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut. Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Atas keberhasilan I Dewa Gede menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala itu pula, akhirnya rakyat mengadakan rapat (igum) untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu. Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dulu para dewa turun dan Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali, para dewa ke Pulaki, Silayukti, CandiDasa.

Di Candi Dasa, para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya. Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata, dan Candi Dasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus.

Para dewa lalu pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan. Ternyata sama juga, Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dan dua tempat itu, mereka akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbadan tiga. Dan Bukit Juru inilah para dewa barn melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah (mapaiguman) melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura untuk memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.

Lewat musyawarah itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang bermusyawarah itu adalah para déwa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agranis. Di Tampaksining juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Mayadenawa. Demikian mitologi tentang Mayadenawa. Di tempat - Dewa Indra bermusyawarah atau mapaiguman itulah dibangun Pura Catur Paigu- man yang selanjutnya disebut Pura Gumang di Tampaksiring.

Di Pura Gumang di Bukit Juru terdapat beberapa petinggih utama dan pelengkap. Ada peling.gih Gedong sebagai stana Ida Bhatara Gede Gumang yang juga disebut Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri kanan Gedong, agak mundur sedikit, terdapat tiga pelinggih Taksu yang mengapit Gedong - dua dikiri dan satu di kanan. Tiga Taksu tersebut sebagai pelinggih Ida Bhatara Gede Gumang.

Ada pula pelinggih Meru tumpang tiga sebagai stana Ida Bhatari Uma, saktinya Dewa Siwa. Mengapa Ida Bhatara Gede Gumang disebut juga Ida Bhatara Gede Manik Mas Kecatur, hal mi mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Bhatara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi. Dewa Siwa memiliki empat sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Perwati, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri. Empat sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur Dewi.
Dalam kaitannya memuja Tuhan untuk memohon turunnya mata air dan sungai yang mengalir di daerah Bughug, Jasi, Bebandem, Datah dan Ngis, ada kaitannya dengan cerita turunnya sungai Gangga dan Sorga Loka dalam cerita Purana di India.

Pendirian pelinggih untuk I Dewa Gede mi tentunya dibuat setelah I Dewa Gede Gumang sudah berbadan niskala dalam statusnya yang sudah menjadi Dewa Pitara. Umumnya, roh suci atau Dewa Pitara seorang tokoh dibuatkan pelinggih bukan oleh din tokoh tersebut, namun dibuat oleh keturunannya atau masyarakat generasi setelah tokoh tersebut sudah berbadan niskala sebagai Dewa Pitara atau Siddha Dewata. 

Pura Gumang terletak di puncak bukit, di mana dapat dicapai  dengan 50 menit pendakian jalan kaki dari jalan raya utama. Pura ini dijaga oleh sekelompok monyet yang tidak hanya berkeliaran di pura melainkan juga hutan di lereng bukit dan sering kali mereka dapat ditemukan sedang mencari makanan di tempat suci di kaki bukit.
Yang menarik adalah setiap Odalan di Pura Gumang anda akan menemukan masyarakat dari lima desa bahkan sekarang hampir dari seluruh penjuru pulau Bali berduyun-duyun membawa Banten, Canang dan  Babi Guling. Disini memang terkenal dengan persembahan Babi Guling-nya, bisa anda bayangkan ratusan bahkan mungkin ribuan Pemedek.